top of page

dari Threnody for the Victim of Hiroshima menuju Marginal Gongs di Tokyo

WAWANCARA antara Indrapraja Music Institute (IMI) dengan Juan Arminandi

Juan Arminandi adalah komponis dan pemusik muda asal Pontianak – Kalimantan Barat. Ia lulus sebagai Sarjana Pendidikan di Universitas Tanjungpura melalui Prodi Pendidikan Seni Tari dan Musik. Juan sempat mengalami belajar teori musik, harmoni, dan komposisi musik dengan Diecky K. Indrapraja saat keduanya masih berstatus dosen-mahasiswa. Hingga kini keduanya masih aktif berdiskusi secara online terkait hal-hal tekstual dan kontekstual dalam komposisi musik. Kini, Juan sangat aktif berkesenian dan mengembangkan potensi seni yang dimilikinya. Beberapa proyek pementasan seni pernah ia kerjakan. Terakhir, ia baru saja pulang dari Jepang untuk pementasan kolaborasi antar seniman Asia. Berikut ini adalah wawancara Indrapraja Music Institute melalui Telegram Messanger yang dilakukan tanggal 17, 22, 24 Januari 2017.

Hallo Juan, terima kasih sudah mau diwawancara. Kita mulai dengan perkenalan dulu ya. Tentang latar belakang Juan dan kesibukan sehari-harinya. Kapan pertama kali kenal musik?

Hallo IMI, terima kasih sudah mau mewawancarai saya. Ini suatu kehormatan bagi saya, karena pengalaman saya bisa dikatakan belum ada apa-apanya, dan sudah diwawancarai oleh satu diantara sekolah musik yang menjadi favorit saya. Langsung saja, dulunya saya mengenal seni itu hanya sebatas menonton pertunjukan, baik itu tari, musik, maupun teater. Entah kenapa tidak ada sekali niat untuk belajar secara serius di bidang ini (mungkin dulunya ikut-ikutan teman). Tapi ada satu hal yang saya selalu ingat sampai sekarang bahwa, musisi itu terlihat keren waktu di atas panggung. Nah mulai dari itu saya mulai belajar seni khususnya di musik pada kelas 2 SMP (sangat terlambat sekali menurut saya), dan instrumen yang saya pilih adalah Bass elektrik. Mulai belajar lagu pop pada Era 90-an akhir sampai awal 2000-an, seperti lagu-lagu grup band Padi, Peterpan dan sebagainya. Selama saya duduk di bangku SMP saya hanya pentas 3-4 kali, itupun hanya mengikuti lomba band indie dan pentas seni di sekolah.

Pengalaman nge-band saat usia ABG memang susah dilupakan hehe, selanjutnya aktivitas bermusik apa lagi yang dijalani?

Ketika saya sudah duduk di bangku SMA, ada 1 hal yang menarik. Pada kelas 2 SMA untuk pertama kalinya saya ikut sanggar atau komunitas tari dan musik di kota Singkawang, yaitu Sanggar Simpor. Untuk pertama kalinya juga saya disuruh menari (hitungannya sih terpaksa, karena yang punya sanggar itu om saya, dan dia adalah penari). Mulai dari itu, saya mulai belajar tari tradisi Kalimantan Barat, baik itu etnis Melayu dan Dayak. Untuk pertama kalinya juga saya merasakan go Nasional dan International (walaupun hanya berangkat ke Sibu, Khucing, Serawak Malaysia untuk Internasionalnya). Selama latihan di sanggar, saya tertarik dengan instrumen tradisi, karena walaupun bunyinya monoton, tetapi unik bagi saya. Tidak lama menjadi penari sekitar 2 bulan, saya iseng-iseng main alat musik tradisi khususnya Dau (seperti Bonang Jawa). Entah apa yang saya pukul, ternyata menarik perhatian ketua sanggar. “Nah bagus kamu main musik aja” kata beliau terhadap saya. Sebenarnya ndak ada basic untuk main musik tradisi. Tapi karena modal nekad dan pengalaman nge-band, saya terima keputusan ketua sanggar. Ada dua instrumen yang saya kuasai di sanggar saat itu yaitu, Akordeon (untuk instrumen Melayu) dan Dau (untuk instrumen Dayak). Ada 1 orang yang menjadi idola saya pada saat itu, yaitu Iskandar, penata musik (komponis) di sanggar. Setiap karya sanggar dipentaskan, nama beliau sering disebut sebagai komponis. Suatu saat nanti saya harus bisa seperti beliau. Itu impian saya pada saat itu. Lantas upaya apa yang Juan tempuh untuk merealisasikan impian tersebut (menjadi komponis)?

Pada tahap jenjang pendidikan selanjutnnya, saya putuskan untuk kuliah seni (walaupun sempat mendapat tekanan dari orang tua saya yang tidak menyetujui saya kuliah). Pada saat itu saya hanya mendapat 2 informasi, yaitu di ISI Yogyakarta dan Prodi seni Tari dan Musik Untan Pontianak. Saya akhirnya memilih Prodi seni Tari dan Musik Untan Pontianak (karena kalau kuliah jauh-jauh, orang tua saya tidak mengizinkan). Walaupun Prodi seni Tari dan Musik Untan basicnya pendidikan, saya tidak peduli, yang penting belajar musik. Selama di perguruan tinggi, saya baru belajar notasi Barat. Awalnya saya tidak tahu sama sekali apa itu notasi Barat, karena pada saat duduk di bangku SMP-SMA saya hanya mengenal seni rupa 2 dimensi (menggambar). Berhubung cintanya saya terhadap musik, saya berusaha keras untuk bisa belajar notasi Barat, bagaimanapun caranya, sampai saat ini. Beruntungnya, selama kuliah di Prodi seni Tari dan Musik Untan, saya juga diajarkan musik tradisi Kalimantan Barat baik itu Melayu dan Dayak. Selama kuliah juga saya baru tahu instrumen Barat seperti violin, cello, flute, klarinet dan sebagainya. Seberapa besar peran pendidikan musik secara formal mempengaruhi profesi Juan saat ini?

Kalau ditanya seberapa penting pendidikan formal mempengaruhi saya, jawabnya sangat berpengaruh. Berdasarkan pengalaman pribadi saya yang dulunya tidak tahu sama sekali tentang musik, cara mambaca notasi dan cara mengaplikasikan ke instrumen, baik itu instrumen tradisi Kalimantan Barat, dan instrumen Barat. Bagi saya sebenarnya belajar ilmu musik seperti teori musik, harmoni dan sebagainya gunanya untuk mempermudah player, komponis, dan arangger. Khususnya bagi komponis teori tersebut sangat membantu sekali untuk mengolah bunyi yang diinginkan, baik itu panjang pendek, tinggi rendah dan sebagainya.

Saya ingat pada semester 2 saat saya kuliah di prodi seni Tari dan Musik. Pada saat itu saya bersama sahabat lainnya sedang ngulik lagu untuk nge-job. Yang paling lama ngulik lagu adalah saya (pada saat itu saya masih memainkan Akordeon). Sampai-sampai saya dijuluki “Juan si buta Akor”. Ejekan-ejekan seperti ini sudah sering saya dengar. Saya beranggapan bahwa yang dikatakan mereka adalah benar, malah ejekan tersebut saya jadikan motivasi untuk saya belajar. Kalau kita tidak diejek, kita tidak bisa introspeksi diri dan akan bahaya nantinya. Hehehe. Adakalanya sebuah ejekan adalah cermin, saat bagi kita untuk berbenah. Selanjutnya bagaimana upaya Juan meng-upgrade keilmuan musik?

Tahun 2012 Kampus Prodi Seni Tari dan Musik Untan Pontianak kedatangan Dosen baru dari Surabaya. Beliau bernama Diecky K. Indrapraja. Beliau satu diantara komponis besar di Indonesia yang pernah saya jumpai. Beruntungnya saya menjadi satu diantara mahasiswa dan murid yang pernah diajar oleh beliau. Pertama kali beliau berada di kampus, ada satu hal yang sampai sekarang masih saya ingat yaitu, beliau menunjukkan video karya Threnody for the Victim of Hiroshima dengan komponis Penderecki. Betapa terkejutnya saya menonton video tersebut. Dalam hati saya, rupanya ada musik yang seperti ini. Mungkin menurut orang awam musiknya sangat susah dinikmati, tetapi menurut saya musik ini sangat menarik. Mulai dari itu juga ketertarikan saya menjadi komponis bertambah. Banyak video yang beliau berikan kepada saya, dan kami sering berdiskusi di waktu yang senggang. Bagi saya beliau sangat berpengaruh pada perkembangan musik di Kalimantan Barat. Beliau bisa memberikan warna baru kepada murid/mahasiswanya tanpa membatasi kreativitas mahasiswa itu sendiri, sehingga musik yang mahasiswa kompos sendiri lebih inovatif. Beliau juga sering membuka diskusi kecil-kecilan dan membuat para mahasiswa lebih berpikir tentang musik yang tidak di ajarkan di kelas semata.

Pengalaman menarik apa yang berkesan bagi Juan saar diajar oleh beliau?

Saya pernah request kepada beliau ketika kami sedang ngopi bersama. “Mas, mas kan komponis besar, boleh dong buat karya buat kami yang ada di Pontianak ini, kami juga pengen mainkan musik dan belajar dari yang di buat komponis seperti mas. hehehehe”. Ini pertanyaan yang saya pernah ajukan kepada beliau setelah beliau ½ tahun di Pontianak. Beliau hanya tersenyum sambil menyerup kopi dan diteruskan merokok 234 nya. Akhirnya Pertanyaan saya dijawab sama beliau ketika tahun 2014 saat beliau membawa nama Balaan Tumaan Ensemble dan Untan go to Eropa, yaitu Poitiers, Paris, dan Bremen. Saya ikut serta dalam Balaan Tumaan Ensemble yang dibentuk oleh beliau pada tahun 2014, dan karya beliau Berjudul Kamar Surga untuk ensemble Dayak dan Melayu. Untuk pertama kalinya saya memainkan karya komponis besar dan banyak mendapatkan pelajaran setelah memainkannya. Bagi saya karya Kamar Surga sangat membekas di hati saya, selain karya komponis besar, karya ini juga khusus untuk instrumen tradisi Kalimantan Barat, bahkan komponisnya malah orang yang tidak berdomisili di Pontianak. Suatu pecutan dan pencerahan bagi saya. “Masa orang luar bisa buat karya bagus dari instrumen tradisi Kalimantan Barat, sedangkan saya yang asli dan berdomisili di Kalimantan Barat ngak bisa seperti beliau?”. Nah ini menjadi motivasi bagi saya untuk menjadi komponis. Walaupun karya saya masih hitungan ecek-ecek, buat aja dulu, toh pastinya di setiap karya akan ada pelajaran yang sangat beharga. Yup, betul. Proses “learn from the last work” atau belajar dari hasil evaluasi karya terakhir akan membantu kita dalam membuat karya selanjutnya lebih fresh. Lantas, apa tantangan dalam diri Juan selanjutnya dalam berkarya?

Akhirnya saya memutuskan untuk menggambil Tugas Akhir Penciptaan Karya Musik dengan judul Karake’, Inang, dan Bakabon. Penciptaan karya ini mengeksplorasi instrumen tradisi Kalimantan Barat dan instrumen Barat. Terdapat 3 karya dalam tugas akhir saya yaitu, Karake’ duet untuk 2 Dau We’, Inang trio untuk klarinet in Bb, soprano, cello, dan Bakabon quartet untuk klarinet in Bb, soprano, cello, dan Dau We’. Karake’ dalam bahasa Dayak Kanayant adalah tumbuhan sirih. Dan Inang adalah tumbuhan tempat tumbuhan sirih itu hidup. Tumbuhan sirih itu membutuhkan tumbuhan lain untuk hidup dan tumbuhan sirih tidak membunuh Inangnya. Tumbuhan sirih juga sering dijumpai di Indonesia seperti di Kalimantan Barat. Oleh sebab itu karya Karake’ duet untuk 2 Dau We’ mengeksplorasi instrumen Dau, sedangkan karya Inang trio untuk klarinet in Bb, soprano, cello, mengekplorasi instrumen Barat, karena inang tumbuhan sirih bisa batang tumbuhan apa saja. Karya Bakabon quartet untuk klarinet in Bb, soprano, cello, dan Dau We’ adalah penggabungan dari instrumen Barat dan instrumen tradisi Kalimantan Barat, karena dalam bahasa Dayak Kanayant Bakabon memiliki arti berkebun, dan saya sedang membuat kebun musik dalam karya Bakabon dengan instrumen tradisi Kalimantan Barat dan instrumen Barat. Penciptaan karya musik saya merujuk tentang hal apa saja yang saya pelajari selama pengalaman saya bermusik, baik itu musik tradisi Kalimantan Barat dan musik Barat. Berkat bimbingan beliau, saya bisa menyelesaikan Tugas Akhir saya dengan lancar. Beliau dengan sabar membimbing saya yang dulunya tidak mengerti apa-apa tentang musik hingga saya mulai lebih memahami seluk beluk musik, meskipun sampai sekarang masih sangat kurang ilmu tentang musik serta tetek bengek lainya. Setelah membimbing saya menyelesaikan Tugas Akhir saya, beliau meninggalkan Pontianak dan sekarang tinggal di Padang. Kepergian beliau sangat mengharukan bagi saya, karena saya merasa ilmu yang saya dapatkan dari beliau sangat-sangat minim. Pesan terakhir yang beliau utarakan di bandara Supadio Pontianak “Terus berkarya, terus berkarya, terus bekarya, Juan bisa kok” sambil berpelukan dan saya menangis tersedu-sedu. Hal ini menjadi motivasi buat saya, apa yang telah dilakukan beliau di Pontianak sangat berpengaruh bagi perkembangan musik di Pontianak. Sekarang kami akan terus melanjutkan perjuangan beliau sampai kapanpun. Mungkin ini seperti curhat yang panjang dan mungkin agak lebay. Tetapi ini lah latar belakang saya yang saya rasakan ketika berkecimpung di dunia kesenian. Betapa sangat-sangat terlambatnya saya belajar musik dan beliau selalu sabar membimbing saya sampai sekarang, walaupun hanya melalui telegram messenger. Aduh jadi terharu terbawa suasana gini. Ada saat-saat istimewa dalam kehidupan kita, dan sebagian besar datang melalui dorongan orang lain. Tidak ada yang terlambat Juan, terlambat itu hanya istilah bagi orang yang pesimis hehe. OK, kita lanjut. Saat ini apa sih kesibukan keseharian Juan? Keseharian saya sampai saat ini masih aktif membuat komposisi musik dan latihan pribadi, biasanya saya juga membuat komposisi musik untuk mengiring tari dan teater. Saya juga tergabung dalam beberapa komunitas di Pontianak, yaitu:

[1] Balaan Tumaan Ensemble

[2] Tanjungpura Youth Orchestra Untan (TYO)

[3] Ikatan Mahasiswa Seni Untan (IKANMAS)

[4] Sanggar Anak Budaya. Baru-baru ini saya juga menjadi pengajar di salah satu SMA di Pontianak untuk mengisi kekosongan di waktu pagi hari. Agar waktu saya tidak terbuang sia-sia. Hehehe Kalau disimak dari certita pengalaman berkesenian di atas, sepertinya Juan dapat memainkan hampir semua alat musik khas Kalimantan Barat dan beberapa alat musik Barat. Sebenarnya alat musik apa yang Juan paling kuasai? Kenapa memilih alat musik tersebut?

Untuk alat musik yang saya kuasai sekarang hitungan nya belum ada. Tapi saya memilih 3 instrumen yang saya tekuni dan masih belajar sampai sekarang. [1] Dau/Gerumong/Kenong (dan masih banyak lagi penyebutan lainnya)

Instrumen ini mirip dengan Bonang Jawa, hanya saja jumlah nya lebih

sedikit. [2] Klarinet. Hitungannya saya belajar klarinet masih sangat baru, dan saya

belajar secara otodidak dan melalui video serta internet. Maklum saja di

Kalimantan Barat guru les alat tiup tidak ada. [3] Kaldi’ (dibaca keledi). Instrumen tiup seperti Sompoton yang ada di

Malaysia, Sheng yang ada di Cina, dan tersebar lagi di Asia dengan nama

yang berbeda. Terbuat dari bambu dan buah labu air yang dikeringkan. Kenapa saya sebut belum dikuasai, karena khususnya instrumen tradisi Kalimantan Barat, selain banyak namanya, ritmik dan melodinya setiap masing-masing daerah masih banyak yang belum saya ketahui. Bayangkan saja menurut Institut Dayakologi telah mencatat 100 lebih sub suku Dayak yang ada di Kalimanatn Barat. Hampir 30% yang memiliki instrumen Dau/Gerumong/Kenong, dan 2% yang memilki instrumen Kaldi’. Setiap sub suku memiliki ritmik dan nama yang berbeda-beda untuk setiap ritmik dan melodinya. Hanya sedikit ritmik dan melodi yang saya tahu. Begitu juga Klarinet, saya tidak berani bilang instrumen yang saya kuasai, karena saya belajar otodidak dan tidak melewati grade 1, 2 dan sebagainya. Karena saya belajar di kampus yang hitungannya mencetak pendidik, tidak untuk mencetak player. Tapi Symphony yang pertama kali saya mainkan adalah “Symphony No 9” karya Dvorak dan pentas di Taman budaya Yogyakarta tahun 2015 sebagai Second Clarinet bersama IYSO dengan pengaba Kanako Abe. Saya juga pernah memainkan “Katalompen I” karya Gatot D. Sulistiyanto. Jika ditanya bisa atau tidaknya memainkan karya orang, saya akan jawab bisa, Bagaimana caranya? ya latihan sampai bisa hehehe. Semangat seperti itu yang harus tetap tumbuh dan terawat bagi pemusik muda saat ini. Oya, bulan November 2016 Juan terlibat proyek kolaborasi dan residensi seniman di Jepang. Bisa diceritakan sekilas tentang proyek tersebut?

Nama proyek tersebut adalah MARGINAL GONGS. Proyek ini digagas oleh Yasuhiro Morinaga dan berkolaborasi dari berbagai negara di Asia, seperti Indonesia, Singapura, Hongkong, Jepang dan beliau terjun langsung melakukan observasi. Hal yang diobservasi Morinaga adalah mytologi serta instrumen Gong. Ketika Morinaga datang ke Pontianak, ia menjelaskan tujuan kedantangan. Dulunya konsep yang diusung oleh Morinaga adalah musik dan teater. Tetapi ketika saya mempresentasikan Tari Ngaruai Kenemiak, ia berkata “sepertinya akan ada pergantian konsep di karya ku.” Oleh sebeb itu ia memilih saya untuk berpartisipasi dalam karyanya.

Pementasan Marginal Gongs, Tokyo 2016 (dokumentasi Juan)

Pertemuan pertama diadakan di base camp Teater Garasi Yogyakarta. Ada beberapa cast yang dipilih Morinaga, yaitu Nobuyoshi Asai (Koreografer dan penari Butoh, Jepang), Akemi Kanda (Aktor, Jepang), Rizman Putra (Teater dan Musik, Singapura), Gunawan Maryanto (Penulis dan Aktor, Yogyakarya), saya dan beberapa tim produksinya. Selain saling mengenal, masing-masing dari kami mempersentasikan bahan apa yang bisa di bagikan untuk mendukung karya MARGINAL GONGS. Ternyata dalam karya ini saya tidak menjadi musisi, tetapi menjadi penari. Latihan pertama dilakukan di Yogyakarta setelah persentasi. Yang jadi pertanyaan saya adalah, “Yasu kenapa kamu memilih saya, saya bukan penari, saya adalah musisi?”. (Yasuhiro) Morinaga “yang aku cari bukanya penari, tetapi yang aku cari adalah semangat (spirit) dari masing-masing individu. Aku tidak perlu gerak bagus seperti estetika penari yang pernah aku lihat sebelumnya. Tetapi yang aku cari adalah natural yang keluar dari masing-masing individu kalian”. Dalam hal ini yang saya tanggapi adalah merasakan (feel). Sama seperti musik, feel juga berpengaruh. Pengalaman apa yang Juan petik dari proyek tersebut?

Selama 15 hari saya berada di Jepang untuk proses latihan. Koreografernya adalah Nobuyoshi Asai. Cara yang dilakukan Nobu untuk mengajarkan kami bisa terbilang sangat mudah, ia menjelaskan setiap detail geraknya, serta apa yang ia rasakan untuk melakukan gerak tersebut, sehingga kami sangat mudah untuk menjiwai dan menggerakkan apa yang ia inginkan, walaupun geraknya bisa dibilang cukup sulit, karena banyak memainkan level bawah, --banyak menekukkan kaki sebagai pondasi geraknya. Ketika Nobu sedang tidak mendapat ide, ia mempersilahkan masing-masing dari kami untuk melakukan improve secara satu persatu dengan merespon musik yang di-playback.

Saya sempat terkejut karena setelah masing-masing dari kami melakukan improve, ia bisa menjelaskan karakter dari pribadi kami. Jarang sekali koreografer yang bisa menjelaskan karakter penarinya. Saya berpikir setiap metode penciptaan seni baik itu tari dan musik pasti melakukan cara yang sama yaitu, observasi dan eksplorasi. Kemudian dibentuk dengan latihan, evaluasi, latihan, evaluasi, dan seterusnya hingga pentas. Hal ini saya rasakan walaupun saya saat di Jepang menjadi penari. Baru-baru ini Juan mengadakan kegiatan presentasi hasil proyek kolaborasi tersebut di Pontianak. Apa tujuan dan harapan kegiatan tersebut?

Poster Presentasi Berbagi Pengalaman Pentas Marginal Gongs, Pontianak 2017 (dokumentasi Juan)

Persentasi dilakukan dengan tujuan membagi pengalaman yang saya dapatkan di Jepang ketika berkolaborasi dengan orang-orang yang “ngeri”. Karena pada saat itu saya yang paling muda, sehingga saya dijuluki Baby Borneo. Hehehe Cara kerja yang dilakukan disana sangat berbeda sekali dengan cara kerja kita khususnya di Pontianak. Biasannya tari sudah jadi duluan, baru di panggil komponisnya, artistiknya, lighting designernya, dan crew. Tetapi di sana (Jepang) berbeda. Semua pendukung acara langsung turun bersamaan pada saat latihan, biarpun mereka cuma duduk dan nonton. Ketika selesai, kami berdiskusi semua kebutuhan yang diinginkan Morinaga, baik itu artistik, ligthing, gerak, kostum dan teknis lainnya.

Juan Sedang Presentasi di Hadapan Peserta, Aula Prodi Seni FKIP-Untan 2017 (dokumentasi Juan)

Pengalaman ini saya rasa penting dibagikan untuk mengubah paradigma kawan-kawan khususnya di Pontianak mengubah metode latihan yang wajib dicoba. Siapa tau bisa efektif dan bermanfaat.

Melalui wawancara ini, Juan boleh menyampaikan apapun pada pembaca. Silahkan.

Saya bisa dibilang orang yang nekad dalam belajar. Melalui sedikitnya ilmu saya, saya mencoba untuk memberikan yang terbaik. Bisa dikatakan saya sudah berhenti menari dari tahun 2008, tetapi pada saat berkolaborasi di Jepang, saya disuruh menari. Begitu juga di musik, saya tidak ada guru yang mengajarkan meniup klarinet yang benar, serta teknik-teknik peniupannya. Yang saya lakukan adalah berusaha bagaimana bisa dan terus belajar. Ada pesan terakhir yang saya ingat ketika beberapa jam sebelum pentas. Ketika itu kami sedang membantu bang Hendra (tatto Artis) yang menatokan kami dalam pentas MARGINAL GONGS. Hendra bertanya kepada Nobu, "Menurutmu, siapa yang paling bagus menari dalam karya ini?” Nobu menjawab, “Semuanya baik, mereka bisa menggerakkan apa yang saya inginkan, walaupun latar belakang mereka bukan penari. Tetapi saya lebih suka adalah Juan, karena dia cepat menyerap apa yang saya maksud”. Mungkin karena saya masih muda dan cepat menyerap apa yang diinginkan Nobu.

Bagi saya ini berkat usaha yang saya lakukan selama berkolaborasi di Jepang. Semuanya bisa asalkan kita mau melakukan nya. Bagaimana caranya, itu tergantung cara kita masing-masing untuk bisa melakukannya.

Wah, senang bisa berbagi pengalaman dengan Juan melalui wawancara ini. Terima kasih waktu dan kesediannya untuk di wawancarai. Sampai jumpa dan terus berkarya! Jaga semangant dan #Joss selalu. Terima Kasih IMI semoga terus mencerahkan...

----

Juan Arminandi, dapat dihubungi melalui: Email: joearminandi@gmail.com Facebook: https://web.facebook.com/juanarminandi

reading, listening, silence.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page