top of page

Balaan Tumaan Ensemble dan Konser Musik Baru “SUAKA SUARA”


Ditulis Oleh: Ardy Prastiawan

Balaan Tumaan merupakan tim kebudayaan yang terbentuk dari hasil seleksi muhibah seni oleh Dikti Kemendikbud yang didapat oleh Diecky Kurniawan Indrapraja (sekarang berprofesi sebagai Direktur dan Pengajar di Indrapraja Music Institute). Mereka berkewajiban untuk mementaskan dan memperkenalkan karya seni tradisi dan karya baru yang berupa tari dan musik di Perancis dan Jerman pada 3 tahun lalu, yaitu bulan Oktober tahun 2014.

Setelah kewajiban mereka terpenuhi, pada awal tahun 2015 mereka mempunyai harapan bahwa dari terbentuknya Balaan Tumaan, hingga serba-serbi proses kesenian ini tidak boleh selesai hanya sampai di Perancis dan Jerman. Harapan itu kemudian dibalut dengan konsistensi visi dan misi Balaan Tumaan Ensemble, yaitu mengembangkan musik tradisi ke dalam musik baru, khusunya di Kalimantan Barat. “Balaan Tumaan Ensemble merupakan sebuah ensemble dan laboraturium penciptaan musik yang memfokuskan untuk mengembangkan dan menorehkan karya seni baru berlandaskan pada penghayatan berbagai warisan karya seni tradisi masyarakat setempat”[1].

Keanggotaan Balaan Tumaan Ensemble pada awalnya beranggotakan Diecky Kurniawan Indrapraja (Ensemble Founder and Advisor), Nursalim Yadi Anugerah (Music Director), Ridho Firman, Peri Rakhmadi, Juan Arminandi, Reza Zulianda, Hariyansyah dan Frisna Virginia. Baru-baru ini mereka merekrut tiga anggota baru, ada Ananda Aristi Dewa, Fian Welliem Dennis Hoogendyk dan Bhumadius. Saya katakan bahwa mereka adalah pelaku seni musik yang berpotensi untuk memproduksi dan menginovasi perkembangan seni musik di Indonesia khususnya di Kalimantan Barat. Sudah banyak agenda kesenian yang mereka lakukan, baru-baru ini diantaranya mendokumentasikan rekaman aransemen musik tradisi Kalimantan Barat (musik tradisi yang memiliki pakem tertentu, dikembangkan dengan jalan diaransemen), aransemen dibuat oleh anggota mereka sendiri.

Produktivitas dan inovasi secara individu juga ditorehkan oleh para pemusik Balaan Tumaan Ensemble, diantaranya Juan Arminandi yang telah berproses dan pentas Marginal Gongs di Jepang. Kemudian, Nursalim Yadi Anugerah yang ikut berpartisipasi dengan mementaskan karyanya sebagai finalis dalam October Meeting 2016 (Kompetisi Komposisi), berpartisipasi pada workshop musik dalam Arts Summit 2016 di Yogya, serta memberikan lecture dan workshop tentang musik tradisi Kalimantan Barat di Universite de Poitiers, Perancis. Selepas kegiatan tersebut pada tanggal 12 Januari kemarin, Juan berbagi pengalamannya dalam Marginal Gongs. Berbagi pengalaman sendiri diperuntukan kepada teman-teman dengan jalan sharing dan diskusi yang dinamakan “Berbagi pengalaman dan pentas Marginal Gongs, proses kesenian lintas kultur”, dilanjutkan oleh Yadi, 16 Februari kemarin juga berbagi pengalamannya yang dinamakan “Silahturahmi Musikal 2016, pertemuan-pertemuan dari Indonesia hingga Perancis”. Semoga Gusti Allah membalas niat baik kalian, Amin.

Agenda-agenda tersebut ternyata telah mereka rancang dalam program acara Balaan Tumaan Ensemble, yang direncanakan akan mereka lakukan dalam sebulan sekali. Pada bulan ini yang baru selesai kemarin adalah Konser Musik Baru “Suaka Suara” yang dilaksanakan pada tanggal 8 Maret 2017 di Canopy Center (Galery-Art Space, Coffe House, Co-Working Space dll), di Pontianak. Tulisan ini sebenarnya lebih besar akan membahas tentang Konser Musik Baru “Suaka Suara”, tapi saya sepertinya harus memulai dan menuliskan singkat tentang Balaan Tumaan terlebih dahulu.

“Suaka Suara” adalah nama dari konser musik yang menyuguhkan karya musik para komponis dan musisi dari Balaan Tumaan Ensemble, walaupun, ada beberapa karya yang membutuhkan musisi di luar dari anggota Balaan Tumaan Ensemble, dikarenakan memang kebutuhan karyanya sendiri. Suaka Suara sebenarnya sudah dilakukan dua kali, yaitu pada pementasan tugas akhir dari Juan Arminandi dan Nursalim Yadi Anugerah. Menurut Yadi, kenapa konser kali ini tidak dinamakan Suaka Suara #2, ia mengatakan bahwa pementasan waktu itu punya embel-embel tugas akhirnya, walaupun, memang karya yang dipentaskan adalah dari anggota dari Balaan Tumaan Ensemble sendiri, namun konser kali ini berbeda tanpa embel-embel tugas akhir, maka inilah yang mereka rasa pertama dan dinamakanlah dengan Konser Musik Baru “Suaka Suara” tanpa ada penomoran kedua.

Konser Musik Baru “Suaka Suara” kemarin menampilkan lima karya baru dari komponis Balaan Tumaan Ensemble. Ada dari Juan Arminandi berjudul IQRA’ (untuk perkusi, clarinet dan tenor saxophone), 2 karya dari Nursalim Yadi Anugerah berjudul HNGNGAAN II (untuk empat/quartet kaldii’) dan SORANG No.1 (untuk solo tiga kaldii’), dari Reza Zulianda berjudul MUARA (untuk solo vokal) dan dari Diecky Kurniawan Indrapraja KAMAR SURGA (untuk perkusi Melayu dan Dayak, Kalimantan Barat).

Acara dimulai tepat pada jam 20.00 WIB, ditandai dengan dibunyikannya gong tiga kali oleh Angga Khasbullah (kepala tim Artistik “Suaka Suara”) di depan gerbang tempat pertunjukan. Masuklah para audiens yang dari jam 19.00 WIB tadi sudah membeli tiket dan mengantri di depan gerbang. Audiens diarahkan ke tempat pertunjukan oleh 2 orang laki-laki berparas tampan Fian dan Yhudis.

Pembawa acara Konser Musik Baru “Suaka Suara” oleh Gilang Rudeska, setelah itu para komponis sendiri yang memandu jalannya acara. Sebelum pentas dimulai, Gilang terlebih dahulu membacakan pesan singkat dari Diecky Kurniawan Indrapraja, yang akan saya tuliskan terakhir sebagai penutup dari tulisan ini.

Langsung saja, penampilan pertama dimulai dari penampilan komponis Reza Zulianda yang biasa dipanggil Max, dengan Judul “MUARA” (berdurasi kurang lebih 6 menit). Sebuah karya untuk solo vokal yang dibawakan oleh soprano Frisna Virginia. Karya ini adalah hasil dari pengalaman Max “secara pribadi melihat pertemuan dua bahari/perairan, yang membawa sifat, rasa dan warna masing-masing ke dalam satu tempat (Muara)”[2]. Muara dimulai dengan terikan huruf hidup A....berubah menjadi E.... yang kemudian menjadi huruf mati (konsonan) NG....Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pengertian konsonan adalah bunyi bahasa yang arus udaranya mengalami rintangan, dimana kualitas ucapnya dipengaruhi oleh keadaaan pita suara (merapat/merenggang – bersuara/tak bersuara) penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap/artikulator (bibir, gigi, gusi, lidah langit-langit) cara alat ucap tersebut bersentuhan/berdekatan. Banyak macam artikulasi alat ucap, yang saya ketahui Max menggunakan satu dari macam cara artikulasi alat ucap, yaitu frikatif; arus udara dikeluarkan melalui saluran sempit sehingga terdengar bunyi berisik (desis). Bunyi konsonan NG.... terus ada hingga berakhir pada dinamika sangat lembut. Pengucapan NG dengan dinamika sangat lembut sangatlah sulit menurut saya, jika Max menggunakan tone/pitch dalam karyanya, sangat mungkin terjadi pergeseran ketepatan tone/pitch.

Hal menarik lain dari karyanya adalah adanya sebuah kalimat atau saya katakan sebagai syair yang diorasikan dengan flat. Kenapa saya katakan syair, karena syair biasa dipakai di dalam kesenian Melayu. Syair yang dipakai di Muara selalu berakhiran AN dan A. Dalam fenomena penulisan syair atau pantun Melayu akhiran sama sering digunakan. Serta diperdengarkan kepada audiens bunyi dari gesekan buku yang terus dibuka secara bolak-balik, kemudian ketukan pensil ke meja dengan ritmik perlahan hingga ke cepat.

Karya ini diakhiri dengan pengulangan syair yang dibaca terbalik, sehingga kesan kalimat konsonan lebih terasa. Huruf hidup I dan huruf mati S menjadi penutup dalam karya ini, IS.... terasa sekali desiran angin di tepian perairan yang ber-Muara. Reza telah berhasil membawa dan mendengarkan kepada audiens hasil pengalamannya mendengarkan 2 bahari ke dalam satu Muara.

Penampilan kedua dilanjutkan dengan komponis Juan Arminandi dengan judul “IQRA’”(berdurasi kurang lebih 8 menit). Iqra’ dalam terminologi bahasa Arab yang berarti bacalah. Iqra’ karya Juan memang merupakan hasil representatif dalam hal membaca, menurut Juan membaca adalah “aktifitas yang dilakukan manusia untuk memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan. Cara membaca setiap individu berbeda-beda. Ide karya ini lahir ketika seorang pembaca yang membaca objek secara berulang-ulang sampai si pembaca dapat mengerti apa arti dari kalimat-kalimat yang dibaca”[3].

Iqra’ adalah karya untuk perkusi, clarinet dan tenor saxophone. Perkusi dimainkan oleh Ananda Aristi Dewa, sedangkan clarinet dan tenor saxophone oleh Juan sendiri. Pemakaian tenor saxophone dalam karya ini menurut saya adalah hal yang nekat (Juan memang terkenal dalam hal nekat). Juan belajar tenor saxophone baru sekitar 1 minggu, tapi karena basic Juan sendiri adalah pemain clarinet dan berbekal nekat maka ia berhasil meng-upgrade permainan tenor saxophonenya di karya Iqra’.

Pilihan berbagai macam perkusi dalam karya ini sangatlah beragam, dari wind chimes, conga, tom-tom, bass drum, cymbal ride dan gong. Pilihan berbagai macam perkusi dibarengi dengan pemukul yang beragam juga, dipakainya tangan, stick drum, stick brush dan bow violin. Karena pilihan mix perkusi itu, permainan perkusi pada karya ini seperti bernada, lengkap dari perkusi yang bertimbre high hingga low. Karena alasan high dan low juga lah Juan menggunakan clarinet dan tenor saxophone.

Iqra’ dimulai dengan pukulan bass drum dan bunyi clarinet secara bersamaan. Dari hal membaca yang berulang-ulang memang terasa sekali dari pengulangan motif yang tidak secara harafiah, artinya dari setiap pengulangan ada yang dirubah oleh Juan, baik itu dari segi melodi hingga timbre. Pengolahan teknik permainan alat musik dalam karya ini dari yang standar hingga yang tidak biasa/non-kovensional (extended techniques), dari yang saya dengar ada menggunakan teknik multi phonic dari clarinet dan tenor saxophone, serta tiupan tremolo dari kedua alat wood wind tersebut. Di karya ini Juan banyak menggunakan pengakhiran sebuah frase dengan kejutan/aksen. Audiens sering terlenakan oleh frase musik yang kemudian di frase selanjutnya berbentuk pengulangan atau perubahan dari frase sebelumnya yang kembali dikejutkan dengan perubahan timbre dari alat musik dan aksen untuk membuat audiens lupa dengan musik/frase sebelumnya. Dari hal itu, saya merasakan Juan ingin pendengar untuk mengingat hal-hal penting yang terjadi sebelumnya, sama seperti ketika membaca dalam hal melanjutkan ke halaman selanjutnya, pengalaman saya sendiri memang sering lupa atau awang-awang karena topik baru dari bacaan, maka harus membaca dengan berulang-ulang.

Sangat menarik ketika saya mendengar bunyi perkusi pada saat perubahan pemukul, ada beragam bebunyian baru yang dihasilkan. Seperti gong yang dipukul dengan stick drum dengan dinamika lembut dan ritmik yang rapat serta rata, membuat musik yang hanya dimainkan berdua tapi terasa penuh sekali. Pada bagian akhir semakin merdu saya mendengar bunyi wind chimes dan multi phonic clarinet dan diakhiri dengan digeseknya cymbal dengan bow. Kita bisa membayangkan bunyi ketika cymbal digesek dengan bow, akan ada bunyi sisa yang terjadi, sangat bagus untuk pengakhiran. Ngiiiing....

Penampilan ketiga dilanjutkan dengan 2 karya dari komponis Nursalim Yadi Anugerah yang berjudul HNGNGAAN II (berdurasi kurang lebih 9 menit) dan SORANG NO. 1 (berdurasi kurang lebih 5 menit). “Hngngaan (baca: hengan) dalam terminologi Dayak Kayan Medalaam, Kapuas Hulu, yang berarti Nafas”[4]. Format empat/quartet kaldii’ dipilih ia dalam karya ini. Musisi yang memainkan karya ini ialah I Kadek Andika Wibawa, Frisna Virginia, Juan Arminandi dan Reza Zulianda/Max. Tiupan dari Frisna, Juan dan Max menjadi pembuka dalam karya ini. Sonoritas/kemerduan memang sangat terasa, yang dibarengi dengan tiupan perlahan dengan dinamika lembut, membuat kita yang mendengarkan menjadi sesak, karena kita ketahui corong tiup/tangkong (tempat meniup) dari kaldii’ lumayan besar. Nafas dari musisi yang memainkan karya ini menjadi sangat viral.

Topik penting nafas dalam karya ini dijelaskan Yadi, “Penafasan menjadi parameter kontrol emosi pesonal, bahkan kolektif yang perlahan terlupakan dalam dunia yang penuh hingar bingar sehingga mengkotakkan kita sebagai makhluk individualis dan egois yang pada akhirnya menghilangkan kolektifitas tersebut. Oleh karena itu, dalam karya ini kita-khusunya pemusik diajak kembali membaca dan merasakan nafas personal dan kolektif. Instrument kaldii’ yang dapat dibunyikan dengan cara ditiup (exhale) dan dihisap (inhale) merupakan representasi nafas yang kemudian diolah melalui parameter durasi nafas masing-masing musisi hingga pada batasan fisiologis dan psikologisnya. Tonalitas, timbre, serta sonoritas yang berbeda pada masing-masing kaldii’ juga diolah untuk mewujudkan suatu ‘harmoni’ yang holistik”[5].

Kita ketahui bahwa tiap kaldii’ mempunyai tonalitas yang berbeda-beda, empat buah kaldii’ mampu membuat harmonisasi yang beragam. Dari sudut pendengaran audiens, saya mendengarkan harmonisasi yang dihasilkan dari kaldii’ Frisna, Juan dan Max memiliki kualitas mayor, ketika masuk Kadek terasa sekali perubahan harmonisasi dengan kualitas minor. Kadek sendiri ada bagian-bagian tertentu dalam meniup kaldii’, maksudnya, saya merasakan Kadek lebih sedikit jatahnya meniup dalam kualitas tiupan bersama-sama, saya merasakan Yadi dalam mengolah memang sengaja seperti itu agar terjadi perbedaan harmonisasi ketika Kadek meniup.

Ada bagian kejutan, yaitu tiupan perlahan dari lembut ke keras oleh Kadek dan Frisna, kemudian disambut tiupan perlahan lembut ke keras dan sedikit lebih cepat dari Juan dan Max yang merubah tensi musik ketika awalnya sonoritas dan tiupan lembut sudah lebih dahulu mendominasi karya ini. Tiap musisi mempunyai peran kode memulai dan mengakhiri yang sangat berhubungan dengan nafas diri sendiri dan teman lain dalam karya ini.

Mendekati akhir ada sebuah motif yang saya suka, yaitu tiupan dari renggang menjadi rapat secara bergantian, di bagian ini ada yang berhasil memainkannya dan ada yang terlalu cepat untuk menjadi rapat dari yang saya dengar, tapi bukan berarti tidak berhasil, saya rasa itu tidak menjadi masalah karena karya ini memang representasi dari nafas tiap musisi yang berbeda-beda. Pada bagian akhir karya ini ditutup dengan tiupan perlahan lembut dari Frisna Virginia.

Selanjutnya karya yang berjudul SORANG NO. 1 (berdurasi 5 menitan), untuk tiga kaldii’ yang dimainkan solo oleh Yadi sendiri. “Sorang merupakan karya solo kaldii’ yang mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru pada instrumen tersebut dengan teknik permainan dan bebunyian baru”[6].

Karya ini dimulai dengan lembut dan beberapa aksen tiupan kaldii’ dari Yadi. Frase lembut dan beberapa aksen terus diulang dengan beberapa perubahan ritmik. Kemudian Yadi mengubah tiupannya dengan teknik baru, yaitu meniup corong tiup/tangkong kaldii’ dengan mulut tidak menyentuh kaldii’, bunyi yang dihasilkan masih standar bunyi kaldii’ tapi dengan ada bunyi desis angin, seperti ketika kita meniup tangan kita sendiri, akan ada bunyi desiran angin yang kita dengarkan. Selanjutnya audiens dikejutkan kembali dengan teknik baru permainan kaldii’, yaitu teknik glissando kaldii’, pada saat diskusi publik pasca pementasan Yadi mencontohkan bagaimana teknik glissando dari kaldii’, dengan cara membuka secara perlahan lubang tone pada kaldii’, tapi tetap lubang tone sebagai drone dari kaldii’ harus tetap tertutup.

Ada bagian berbeda dari karya ini. Karena didengar dari grafik tensi musik, pada bagian awal dimainkan dengan ritmik yang tidak terlalu rapat, lembut dan sesekali ada aksen. Tapi terasa pada bagian selanjutnya dimainkan dengan birama ganjil, rapat dan tiupan aksen.

Pada bagian ini tiupan tremolo dari lembut ke keras juga digunakan. Salah satu bagian menarik dan menakjubkan dari karya ini adalah Yadi meniup dengan sangat tidak lazim dalam permainan kaldii’, yaitu meniup bagian pangkal/ujung bambu dari kaldii’ dengan tangan ke bawah dan jari yang tetap menekan lubang tone-nya, dari hasil teknik itu terdengar tone low dari kaldii’. Ada pengulangan yang terjadi, ritmik rapat dan birama ganjil kembali diulang tapi dengan perubahan dua kaldii’ sekaligus ditiup (audiens kembali lagi dikejutkan dengan karya ini, beragam teknik baru memang banyak digunakan Yadi). Perubahan harmonisai karena dua kaldii’ ditiup secara sekaligus juga dapat saya dengarkan.

Karya ini ditutup dengan tiupan dari yang rapat kemudian perlahan merenggang dan semakin merenggang. Sungguh akhir yang membuat audiens bernafas lega, yang sedari tadi dikejutkan berkali-kali oleh permainan teknik baru dan bebunyian baru dari kaldii’. Yadi telah menorehkan sejarah baru dari permainan kaldii’, dan saya rasa ini baru pertama kali kaldii’ diperlakukan seperti itu. Pantas jika karya Sorang No. 1 dari Yadi disebut sebagai pionir karya yang membuat pembaharuan dalam hal teknik dan bebunyian baru dalam alat musik kaldii’.

Penampilan terakhir ada karya dari komponis Diecky Kurniawan Indrapraja yang berjudul "Kamar Surga". Kamar Surga sendiri sebenarnya sudah ditampilkan sebanyak tiga kali di Pontianak, yaitu pada penutupan IkanMas Arts Festval #5, West Borneo Composer Festival (WBCF), dan yang ketiga kemarin di Konser Musik Baru “Suaka Suara”. Walaupun sudah pernah dipentaskan, Kamar Surga menyimpan hal-hal baru dalam aspek musikal dan pengolahan alat musik perkusi Melayu dan Dayak, Kalimantan Barat. Kamar Surga sendiri sebuah karya “untuk enam pemusik dengan alat musik: Saron+Gong (perkusi 1); Dau Induk+Gong (perkusi 2); Dau Anak+Gong (perkusi 3); Tengga+Tok-tok/Wood block (perkusi 4); Marwas, Rebana (perkusi 5); Kompang, Ketubung, Marwas, Rebana, Kompang (perkusi 6)”[7].

Kamar Surga mempunyai empat gerakan/movement, “antara lain 1. The Oath atau pembaptisan, struktur irama yang serentak (tutti) dalam harmoni perkusi; 2. Patience of Evil atau kesabaran iblis, lebih pada duo saron yang disejajarkan dan dirajut dalam melodi pendek yang terus bergulir dengan perlakuan perkusi lainnya; 3. The Ancient Voices atau bisikan leluhur, resonansi perkusi dalam beragam perlakuan; 4. The Divine Revelation atau wahyu Ilahi, lebih melodis dalam variasi sequence dan dibutuhkan ketepatan pemusik dalam mendengar dan merespon motif ataupun frase dalam melodi, seperti layaknya manusia menerima “wangsit” dari Yang Maha. Dalam pementasannya, pemusik bebas memilih urutan movement yang disediakan. Apapun pilihan (urutan) pemusik, itu adalah bagian dari mereka memaknai karya ini”[8].

Dalam Konser Musik Baru “Suaka Suara”, Kamar Surga dimainkan dengan urutan gerakan/movement 2-1-3-4. Pemilihan movement 2 Patience of Evil (kesabaran iblis) sebagai awal saya rasa tepat sebagai pembukaan (prelude) dari karya Kamar Surga, kenapa, karena movement 2 diawali dengan motif pembukaan tutti yang mengejutkan, aksen bersamaan dari ke 6 pemusik dan permainan dau we’/satu dan na’/anak yang sangat sulit. Movement 2 bisa saya sebut sebagai karya virtuoso dari dau we’ dan dau na’. Di dalam movement 2 tempo terasa cepat. Selain itu dau we’ dan na’ memainkan motif atau frase, dan yang lain sebagian besar hanya sebagai penebal timbre dan iringan dalam motif atau frase dau we’ dan dau na’ saja. Ada bagian dimana dau we’ melodi dan dau nak mengiringi, atau pun sebaliknya. Di dalam mengiringi ada sebuah teknik baru memukul dau yang dipakai, yaitu stick dau diletakan di atas penclon dau dan stick satunya lagi memukul stick yang berada di atas penclon dau tadi, bunyi yang dihasilkan staccato/pendek dan tidak terlalu keras. Pada saat diskusi saya terkejut saat Peri Rakhmadi mengatakan, mempelajari dau dalam movement 2 ini membutuhkan waktu 3 bulan. Bukan waktu yang pendek untuk mempelajari memainkan sebuah karya musik.

Terdapat perubahan tempo yang drastis dalam movement 2, saya rasa sebagai perubahan tensitas musik. Ada sebuah motif dari perkusi bermembran (rebana dan kompang) yang kemudian disambut pengulangan pada motif pembukaan movement 2, mengejutkan disaat perubahaan tempo terjadi. Movement 2 di akhiri dengan teknik sliding dari saron, dau we’, dau na’ dan tengga, saya rasa sebagai pengakhiran dari duet dau we’ dan na’, setelah itu ada motif melodi menuju kadens dari saron dan tengga.

Movement 1 The Oath (pembaptisan), relatif lebih mudah dari movement 2, karena dari awal hanya pengulangan motif/frase, yang dimainkan hanya perubahan dinamika. Mendengar movement 1 saya seperti kembali melihat sisi lain dari Diecky, yaitu mantan rockernya. Irama movement 1 sangat kental dengan irama rock. Apa lagi ketika bagian motif awal sebagai iringan (yang dimainkan dau we’ dan na’) dan melodi dari saron dan tengga, terasa seperti masuknya vokal dalam iringan gitar berdistorsi. Ada bagian tansisi/motif dari interlocking/lampas marwas yang saya bayangkan seperti fill in dari drum rock. Ga papa ya jika saya mendengar movement 1 seperti ini.

Movement 3 The Ancient Voice (bisikan leluhur), seperti hasil eksplorasi bebunyian baru dari alat musik yang Diecky gunakan di Kamar Surga. Di mulai dari not yang rapat dan teknik membunyikan lewat kuku dari jari tangan yang digerakan di atas alat musik, bunyinya seperti sebuah mesin yang sedang berjalan dan terdengar sangat jauh. Setelah itu semakin banyak eksplorasi bunyi dari pemusik. Seperti ada sebuah kesepakatan yang tidak terlalu ketat dalam memainkan movement 3. Movement 3 di akhiri motif dari ketebung yang menandakan berakhirnya eksplorasi bunyi dari para pemusik.

Movement 4 The Divine Revelation (wahyu Ilahi), lebih nyaman didengarkan, karena memang lebih melodis, bukan melow(dis) ya. Dimulai dari melodi/frase dari tengga yang diiringi marwas dan kompang yang diulang, namun konsistensi permainan dikacaukan dengan masuknya saron yang terasa seperti not tuplet yang mengiringi secara sinkop. Kemudian masuk motif dari dau we’ dan na’, seketika yang lain bermain lebih lembut. Namun cuman bertahan sebentar, hanya 2 kali pengulangan, dau we’ dan na’ kembali masuk, musik kembali bermain bersama-sama dengan perubahan alat musik bermembran yang tadi dari marwas dan kompang menjadi rabana dan ketebung, musik lebih ber-energik.

Selanjutnya permainan tengga berubah, yang dari mengiringi menjadi melodi, disusul saron yang menjadikan motif seperti permainan tar. Motif tersebut mengiringi perkusi bermembran yang sedang bersolo ria. Di akhiri dengan teknik circle slide pada rabana.

Terdapat jeda, lalu masuk kembali tengga pada motif awal sekali. Namun dibarengi permainan dau we’, na’ dan saron yang seperti sembarangan, sangat menarik. Setelah itu di akhiri oleh permainan ketebung, marwas dan gong. Lalu pengulangan melodi/frase di awal yang dimainkan bersama-sama dengan irama iringan perkusi dari marwas yang berbeda. Pelan-pelan yang lain berhenti, hingga tertinggal dau we’ dan na’, movement 4 akhirnya diakhiri oleh melodi dau we’ dan na’ yang berhenti mendadak.

Itulah sekelumit dan sekompleks karya yang pentas di Konser Musik Baru “Suaka Suara” dari Balaan Tumaan Ensemble. Banyak sekali pelajaran yang didapat konser musik “Suaka Suara. Bagaimana mereka dari hasil impresi, membuat dan pentas karyanya. Sekali lagi saya bilang inilah sebuah produktivitas dan inovasi dalam perkembangan musik khususnya di Kalimantan Barat.

Seluruh komponis pada akhir acara melakukan diskusi secara langsung dengan audiens, namun tidak dengan Diecky yang berhalangan hadir. Sebagai ganjaran untuk Diecky karena berhalangan hadir, tidak bisa bergabung bersama kami di ruang pertunjukan untuk berbagi tentang karyanya dan memenuhi janji saya, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan pesan dari Diecky Kurniawan Indrapraja yang dikirim dari rekaman audio.

“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokatuh, selamat malam sahabat Pontianak. Senang rasanya bisa berkumpul dan bersilahturahmi di ruang pertunjukan ini. Banyak pesan yang saya terima, semua menanyakan perihal kehadiran saya, sejujurnya saya sangat ingin hadir duduk bersama kita semua disini, ya, andai saja Padang-Pontianak sedekat Siantan-Pontianak. Namun izinkanlah atas ketidakhadiran saya memohon maaf. Meski kita tak berdekatan raga, percayalah, sahabat selalu mengalir dalam do’a. Kita tak terbatas waktu, tak terlihat, tersembunyi di balik rindu, sedekat yang kita mau, di relung kamar-kamar surga. Salam hangat dan rindu dari saya dan keluarga. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Selamat mengkhidmati “SUAKA SUARA”.

--------------------------------------------------------------------------------[1]. Halaman 3 dari program note konser musik baru “suaka suara”

[2]. Halaman 1 dari program note konser musik baru “suaka suara”

[3]. Halaman 1 dari program note konser musik baru “suaka suara”

[4]. Halaman 1 dari program note konser musik baru “suaka suara”

[5]. Halaman 1 dan 2 dari program note konser musik baru “suaka suara”

[6]. Halaman 2 dari program note konser musik baru “suaka suara”

[7]. Halaman 2 dari program note konser musik baru “suaka suara”

[8]. Halaman 2 dari program note konser musik baru “suaka suara”

Tulisan asli dapat dilihait di sini

reading, listening, silence.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page